Agenda 21 dalam Sistem Manajemen Lingkungan
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Sistem Manajemen Lingkungan
Kelompok
Deviyani NIM 25307301
Latifa Dinar 25307302
Azizah Dwi Gandini 25307306
Program Magister Departemen Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
INSTITUT TEKNOLOGI
SEMESTER I - 2008/2009
AGENDA 21 DALAM SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATARBELAKANG MASALAH
Perjanjian-perjanjian internasional dapat berdampak cukup besar di tingkat nasional dan lokal. Konferensi tingkat tinggi pembangunan berkelanjutan 2002 adalah tinjauan terhadap sepuluh tahun perjalanan menuju pencapaian Agenda 21, rencana kegiatan global untuk pembangunan berkelanjutan yang diluncurkan pada KTT Bumi 1992 di Brazil. Agenda 21 merupakan program aksi untuk mempersiapkan dunia dalam menghadapi tantangan abad ke 21 agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan tetap berlanjut. Agenda 21 juga merupakan transformasi konsep pembangunan berkelanjutan menjadi komitmen dan arahan untuk melakukan tindak nyata dengan memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Selama jangka waktu setelah konferensi tersebut, banyak yang berubah sementara beberapa faktor masih sama bahwa adanya ancaman besar dan terus-menerus terhadap iklim bumi dan pola kepunahan satwa, tumbuhan, tidak hanya terhadap ekologi dunia tetapi juga kapasitas manusia untuk meningkatkan pendapatan dan menghapus kemiskinan. Menindaklanjuti hasil-hasil konferensi tersebut, pemerintah
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN
Agenda 21 dibuat berdasarkan adanya komitmen global (internasional) dengan maksud mengatasi kerusakan lingkungan di dunia. Komitmen bersama antar berbagai Negara di mulai melalui adanya konferensi, konvensi, perhimpunan sampai adanya konvensi KTT bumi. Adapun tujuan dari agenda 21 adalah untuk :
1. Pelaksanaan dan pengembangan program aksi untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan untuk saat ini dan abad ke 21
2. Pengintegrasian pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam satu paket kebijakan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (biogeofisik, sosekbud, kelembagaan, LSM).
3. Implementasi 7 aspek agenda 21 global
BAB II
ISI
2.1 SEJARAH AGENDA 21
Asal mula dimulainya penentuan kebijakan dan program agenda 21 berdasarkan adanya komitmen global (internasional) dalam rangka mengatasi kerusakan lingkungan di dunia. Komitmen bersama antar berbagai Negara di mulai melalui adanya konferensi, konvensi, perhimpunan sampai adanya konvensi KTT bumi. Berikut ini adalah uraian perjalanan panjang dari komitmen global sampai terbentuknya program agenda 21 adalah sebagai berikut :
a. Konferensi Stockholm, 1972
Kesadaran global untuk memperhitungkan aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan kelayakan teknik dalam pembangunan mencuat tahun 1972. Hal tersebut ditandai dengan Konferensi Stockholm tahun 1972. Konferensi ini atas prakarsa negara-negara maju dan diterima oleh Majelis Umum PBB. Hari pembukaan konferensi akhirnya ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia yaitu 5 Juni. Dari Konferensi ini menghasilkan resolusi-2 yang pada dasarnya merupakan kesepakatan untuk menanggulangi masalah lingkungan yang sedang melanda dunia. Selain itu diusulkan berdirinya sebuah badan PBB khusus untuk masalah lingkungan dengan nama : United Nations Environmental Programme (UNEP). Dalam Konferensi juga berkembang konsep ecodevelopment atau pembangunan berwawasan ekologi. Sejalan dengan hal tersebut
b. United Nations On Environment and Development (UNCED), 1992
Lingkungan hidup dunia yang semakin baik yang menjadi harapan Konferensi Stockholm ternyata tidak terwujud. Kerusakan lingkungan global semakin parah. Penipisan lapisan ozon yang berakibat semakin meningkatnya penitrasi sinar ultra violet ke bumi yang merugikan kehidupan manusia, semakin banyaknya spesies flora dan fauna yang punah, pemanasan global dan perubahan iklim semakin nyata dan betul-betul sudah di depan mata. Oleh karena itu masyarakat global memperbaharui kembali tekadnya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan global dengan mengadakan KTT Bumi di Rio de Jeneiro pada bulan Juni 1992 dengan tema Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). KTT ini kita kenal dengan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED). Dalam UNCED disegarkan kembali suatu pengertian bersama bahwa pembangunan berkelanjutan harus memenuhi kebutuhan sekarang dan generasi mendatang. Untuk mencapai hal tersebut dalam setiap proses pembangunan harus memadukan 3 aspek sekaligus yaitu : ekonomi, ekologi dan sosbud. Secara garis besar ada 5 hal pokok yang dihasilkan oleh KTT Bumi di Rio de Jeneiro yaitu :
1. Deklarasi Rio tentang lingkungan dan pembangunan. Deklarasi ini berisikan 27 prinsip dasar yang menekankan keterkaitan antara pembangunan dan lingkungan serta pengembangan kemitraan global baru yang adil.
2. Konvensi tentang perubahan iklim, diperlukan payung hukum guna menangani masalah pemanasan global dan perubahan iklim.
3. Konvensi tentang keanekaragaman hayati, diperlukan payung hukum untuk mencegah merosotnya keanekaragaman hayati.
4. Prinsip pengelolaan hutan, hutan mempunyai multi fungsi : sosial, ekonomi, ekologi, kultural dan spiritual untuk generasi. Hutan untuk penyerapan CO2 serta untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan pengelolaan daerah aliran sungai.
5. Agenda 21, menyusun program aksi untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan untuk saat ini dan abad ke 21 : biogeofisik, sosekbud, kelembagaan, LSM.
Dokumen agenda 21 global dianggap sebagai suatu hasil yang paling penting dalam KTT bumi ini, yang berisi aksi-aksi dimana setiap pemerintah, organisasi internasional, sektor swasta dan masyarakat luas, dapat melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan bagi pembangunan social ekonominya. Adapun, 7 aspek yang ditekankan dalam agenda 21 global adalah :
- Kerjasama internasional
- Pengentasan kemiskinan
- Perubahan pola konsumsi
- Pengendalian kependudukan
- Perlindungan dan peningkatan kesehatan
- Peningkatan pemukiman secara berkelanjutan
- Pemaduan lingkungan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan
c. World
Setelah 10 tahun KTT bumi, masyarakat global menilai bahwa operasionalisasi prinsip-prinsip
1. Mengevaluasi 10 tahun pelaksanaan agenda 21 dan memperkuat komitmen politik dalam pelaksanaan agenda 21 di masa datang
2. Menyusun program aksi pelaksanaan agenda 21 untuk 10 tahun ke depan
3. Mengembangkan kerjasama bilateral dan multilateral
Dokumen yang dihasilkan dalam WSSD adalah :
1. Program aksi tentang pelaksanaan Agenda 21 sepuluh tahun mendatang
2. Deklarasi Politik
3. Komitmen berupa inisiatip kemitraan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan
Tiga ciri utama tren kemajuan pelaksanaan Agenda 21 di atas 10 tahun terakhir. Pertama, konsep pembangunan berkelanjutan yang diminta beralih dari fokus pada satu masalah appreciating menuju kompleks interaksi antara berbagai faktor lingkungan dan pembangunan. Kedua, ada gerakan internasional dari atas ke bawah norma-lembaga pengaturan nasional-gedung dan lebih "akar rumput" pendekatan di tingkat pemerintah daerah. Ketiga, Agenda 21 memerlukan tempat berbasis pengetahuan teknis dan ilmiah, yang telah mengakibatkan peningkatan keterlibatan penelitian berbasis lembaga seperti perguruan tinggi dan swasta.
d. Millenium Development Goals, 2000
Konferensi Stockholm tahun 1972, konferensi Bumi (UNCED) di Rio de Jeneiro tahun 1992, dan pertemuan puncak pembangunan berkelanjutan (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg merupakan upaya masyarakat global untuk meletakkan landasan dan strategi yang bersifat mondial dalam mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup yang semakin parah dan memprihatinkan. Kesadaran global juga mengemukan karena ternyata upaya-upaya penanggulangan kemerosotan lingkungan hidup tidak mudah dan bahkan semakin rumit dan saling kait mengkait berbagai apek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik budaya, kemiskinan, ketimpangan antar negara. Selain 3 konferensi/pertemuan puncak para kepala negara/pemerintahan tersebut kiranya perlu dicatat pula suatu komitmen global yang tidak secara khusus membahas dan merumuskan masalah lingkungan hidup, namun kaitannya sangat erat dengan masalah lingkungan hidup yaitu Millenium Development Goals (MDG’s). MDG’s awalnya dikembangkan oleh OECD dan kemudian diadopsi dalam United Nations Millenium Declaration yang ditandatangani September 2000 oleh 189 negara maju dan berkembang. Komitmen dalam MDG’s yang dicetuskan dalam Sidang Umum PBB tahun 2000 mencakup :
1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan ,dengan mengurangi setengahnya jumlah penduduk yang berpendapatan kurang US$ 1 per hari. Mengurangi setengahnya jumlah penduduk yang menderita kelaparan.
2. Pemenuhan pendidikan dasar untuk semua, dengan menjamin semua anak dapat menyelesaikan sekolah dasar. Hal tersebut disertai dengan upaya agar anak-2 tetap mengikuti pendidikan di sekolah dengan kulitas pendidikan yang baik.
3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dengan menghilangkan perbedaan gender baik pada tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan tingkat pertama pada tahun 2005 dan tahun 2015 untuk semua tingkat.
4. Menurunkan angka kematian anak usia di bawah 5 tahun, dengan sasaran menjadi 2/3 nya.
5. Meningkatkan kesehatan ibu, dengan mengurangi ratio kematian ibu menjadi 3/4 nya.
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, dengan menghentikan dan mulai menurunkan peyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.
7. Memberikan jaminan akan kelestarian lingkungan hidup, dengan memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program dan kebijakan masing-masing negara, menurunkan hilangnya sumber daya alam, mengurangi hingga 1/2 nya penduduk yg selama ini tidak bisa mengakses air bersih secara berkelanjutan, perbaikan secara signifikan terhadap tempat tinggal paling tidak 100 juta tempat tinggal kumuh (slum dwellers) sampai 2020.
8. Mengembangkan kerjasama global dalam pembangunan, antara lain dengan pengembangan sistem perdagangan dan keuangan yang transparan, kepemerintahan yang baik, memperhatikan kebutuhan negara berkembang seperti memberikan kuota export, penghapusan/penundaan pembayaran hutang, bantuan untuk pengentasan kemiskinan, bantuan untuk peningkatan produktivitas kaum muda, akses untuk memperoleh obat-obatan yang penting bagi negara berkembang.
2.2 PERKEMBANGAN AGENDA 21 di Indonesia
UNDP berkomitmen membantu
Agenda 21 Nasional ini kemudian diikuti pula oleh Agenda 21 Sektoral yang dikeluarkan tahun 2000, meliputi sektor pertambangan, energi, perumahan, pariwisata dan kehutanan. Baru-baru ini, beberapa pemerintah daerah telah memulai penyusunan Agenda 21 Lokal yang diharapkan dapat memberi pedoman perencanaan pembangunan di tingkat kecamatan, dan menjadi rujukan bagi berpagai pihak untuk menyusun rencana-rencana aksi. Pelaksanaan Agenda 21 di Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, mulai dari kurangnya kesadaran publik dan pemerintah sampai kurangnya dana dan kemauan politis.
2.3 PELAKSANAAN AGENDA 21 DI
Tujuan pembangunan di
(1) meningkatkan produktivitas sumberdaya,
(2) menganekaragamkan hasil produksi,
(3) memperbaiki tata ruang atau sistem peruntukan sumberdaya, dan
(4) memasukkan fungsi konservasi.
Pembangunan berkelanjutan hanya dapat diperoleh apabila dilandasi ilmu pengetahuan dan menjadi asas kunci bagi pencapaian pertumbuhan sosial dan ekonomi jangka panjang. Pembangunan tidak terlepas dari agenda 21 negara
(1) pelayanan masyarakat,
(2) pengelolaan limbah,
(3) pengelolaan sumberdaya tanah, dan
(4) pengelolaan sumberdaya alam.
Tiap program pokok diatas terbagi menjadi sejumlah program. Pelayanan masyarakat memuat program (i) pengentasan kemiskinan, (ii) perubahan pola konsumsi, (iii) dinamika kependudukan, (iv) pengelolaan dan peningkatan kesehatan, (v) pengembangan perumahan dan pemukiman, dan (vi) sistem perdagangan global, instrument ekonomi, neraca ekonomi, dan lingkungan terpadu. Pengelolaan limbah memuat program (i) perlindungan atmosfer, (ii) pengelolaan bahan kimia beracun, (iii) pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, (iv) pengeloaan limbah radioaktif, dan (v) pengelolaan limbah padat dan cair.
Adapun pengelolaan sumberdaya tanah memuat program (i) penatagunaan sumberdaya tanah, (ii) pengelolaan hutan, (iii) pengembangan pertanian dan pedesaan, dan (iv) pengelolaan sumberdaya air. Sedangkan pengelolaan sumberdaya alam terdiri atas program (i) konservasi keanekaragaman hayati, (ii) pengembangan bioteknologi, dan (iii) pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan.
Setiap bab atau bagian (4 program pokok) diuraikan latar belakang yang memperkenalkan topik yang akan dibahas, diikuti sejumlah bidang program yang dianggap prioritas bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan berdasarkan dua kerangka waktu (1998-2003) dan (2003-2020).
2.4 Implementasi Program Agenda 21
2.4.1. Pengelolaan Limbah
Berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, Agenda 21 global menawarkan beberapa program aksi guna meningkatkan dan memperbaiki kondisi dan kualitas lingkungan hidup manusia dami terlaksananya pembangunan berkelanjutan dalam menyongsong abad 21.
Salah satu program aksi pada agenda 21 adalah pengelolaan limbah. Isu pengelolaan limbah secara langsung merasuk ke hampir semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu pembahasannya ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat. Adapun pokok pembahasan dalam pengelolaan limbah mencakup pada limbah padat dan cair, baik di lingkungan industri; pengelolaan dan pengaturan penggunaan bahan kimia beracun dan berbahaya; pengelolaan limbah B3, termasuk limbah rumah sakit dan radioaktif; dan pengelolaan buangan gas hasil kegiatan yang menggunakan minyak bumi dan pembakaran biomassa.
2.4.2. Perlindungan Atmosfir
Atmosfir memberikan perlindungan tiga fungsi utama. Pertama sebagai bahan mentah untuk kegiatan manusia. Kedua sebagai tempat pembuangan yang menyerap dan mendaur ulang sisa-sisa kegiatan manusia. Ketiga berfungsi mendukung kehidupan. Oleh karena itu kualitas atmosfir merupakan aset yang harus dilindungi dan dilestarikan.
Kemampuan atmosfir memberikan fungsinya dapat terganggu dengan masuknya bahan-bahan pencemar ke udara yang dikeluarkan oleh kegiatan manusia. Untuk mencegah dan mengendalikan hal ini perlu sekali terjadi perubahan pandangan di pihak pemerintah, pihak swasta maupun maupun dimasyarakat luas mengenai:
- Kemampuan atmosfir menerima dan mendaur ulang sisa kegiatan manusia yang terbatas, dimana kegiatan manusia akan mengganggu kemampuan atmosfir menjalankan fungsinya.
- Menurunnya kemampuan atmosfir menjalankan fungsinya akan memberi dampak negatif yang sangat besar dan luas, seperti dapat mengurangi kesehatan, dapat mengurangi efisiensi ekonomi, meningkatnya tekanan sebagian masyarakat guna memperlambat laju pembangunan, dapat mengurangi permintaan barang ekspor indonesia, dan dapat menghambat atau menurunkan tercapainya target pembangunan ekonomi dan sosial indonesia.
- Biaya yang diakibatkan oleh memburuknya kualitas udara ini sangat besar dan akan melonjak dengan pesat bila kualitas udara makin memburuk
- Permasalahan perlindungan atmosfir selain berskala lokal dan nasional, ia juga mempunyai skala regional dan global. Akibatnya kegiatan yang berkaitan dengan kualitas atmosfir/ udara mempunyai efek dalam hubungan internasional baik secara politis maupun dalam perdagangan
- Perlu memperhitungkan kaitan kegiatan manusia dengan kualitas udara terutama untuk kegiatan yang diperkirakan akan memberikan dampak yang besar pada kualitas udara.
Permasalahan di atas di jabarkan dalam uraian dan analisa empat bidang program. Bidang program pertama menekankan masalah kualitas udara skala lokal dan nasional di mana di bahas pertimbangan lingkungan dan energi dalam sektor-sektor pembangkit tenaga listrik, transportasi, industri, dan rumah tangga. Bidang kedua dan ketiga berkaitan dengan isu global, yaitu isu ozon di stratosfir dan perubahan iklim global bidang keempat berkaitan dengan permasalahan regional, yaitu isu desposisi asam dan pecegahan kebakaran hutan.
Sumber pencemaran udara
ü sumber tidak bergerak
Sumber pencemaran udara yang berasal dari sumber tidak bergerak, antara lain industri, pemukiman/rumah tangga dan pembakaran sampah. Sedangkan sumber pencemaran udara dari sumber bergerak, adalah dari kegiatan transportasi. Disamping itu, kebakaran hutan dan lahan juga menjadi salah satu penyebab pencemaran Udara di Indonesia. Bahkan kebakaran hutan dan lahan mengganggu kestabilan komposisi gas di atmosfer. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara mengatur bahan pencemar yang perlu dipantau yaitu sulfurdioksida (SO2), karbonmonoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), partikulat berukuran kurang dari 10 mikron (PM10) dan timah hitam (Pb).
ü Pencemaran Udara Dari Sumber Bergerak
Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap pencemaran udara di kota-kota besar. Di Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek) jumlah kendaraan bermotor tahun 2000 menurut Polda Metro Jaya-POLRI telah mencapai 4.159.442 unit yang didominasi oleh jenis kendaraan mobil penumpang. Di Bandung jumlah kendaraan bermotor untuk tahun 2000 mencapai 588.640 unit. Jumlah kendaraan tersebut belum termasuk kendaraan yang datang ke
dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak (BBM) dan masih digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di
Sumber: Departemen Pertambangan dan energi, 1999
*) Bahan Bakar Bertimbal
Gambar 3.1. Persentase Pemakaian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Tahun 1999/2000.
Bahan bakar kendaraan bermotor di
Upaya Pengendalian
• Pemantauan Kualitas Udara Ambien
• Program Langit Biru
• Pengendalian pencemaran udara dari sarana transportasi kendaraan bermotor meliputi:
1. Pengembangan perangkat peraturan
2. Penggunaan bahan bakar bersih (cleaner fuels
3. Pengembangan bahan bakar alternative
• Pengendalian pencemaran udara dari industri
• Kebijakan Antisipasi Deposisi Asam
• Kebijakan Antisipasi Perubahan Iklim
• Kebijakan Perlindungan Lapisan Ozon di Indonesia
2.4.3. Pengelolaan Bahan Kimia Beracun
Dalam pengelolaan bahan kimia dan beracun yang menuju konsep pembangunan berkelanjutan tahap awal yang perlu dilakukan adalah menyiapkan seluruh perangkat terkait dari mulai perangkat hukum, pelaksanaan, dan pembinaannya. Langkah penerapannya berfokus pada penyeragaman klasifikasi bahaya, sistem pelabelan dan simbol yang berlaku secara global, memanfaatkan pertukaran informasi secara intensif dengan mengadopsi prosedur PIC (Prior Informed Concern) yang telah diakui secara internasional, mengeliminasi sekecil mungkin resiko, menghindari kemungkinan-kemungkinan kerugian-kerugian secara ekonomik dengan bertumpu pada analisis daur hidup, bahan-bahan kimia, dan meningkatkan kemampuan atau kapasitas nasional dalam mendeteksi dan menekan masuknya produk dan atau bahan kimia yang berbahaya melalui perdagangan global.
Guna tercapainya sasaran, maka terdapat empat bidang program yang diususlkan yaitu:
1. Peningkatan kemampuan dan kapasitas nasional dalam pengelolaan bahan-bahan kimia
2. penyerasian klasifikasi dan pelabelan bahan-bahan kimia
3. penyebarluasan informasi tentang bahan-bahan kimia beracun dan resiko-resiko kimia, dan
4. penurunan resiko dan pencegahan lalulintas domestik maupun internasional yang tidak sah (ilegal) dari produk-produk kimia beracun dan berbahaya
oleh karena itu dalam bab ini hanya memfokuskan pada pengelolaan bahan kimia beracun saja, sedangkan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun akan di bahas di bab selanjutnya
Bahan kimia beracun dikenal sebagai bahan kimia yang dalam jumlah kecil dapat menimbulkan keracunan pada manusia atau mahluk hidup lainnya. Umumnya zat-zat toksik masuk lewat pernapasan atau kulit, kemudian beredar ke seluruh tubuh atau ke organ-organ tertentu. Tetapi dapat pula zat-zat tersebut berakumulasi, tergantung pada sifatnya, ke dalam tulang, hati, darah atau cairan limpa dan organ lain sehingga akan menghasilkan efek dalam jangka panjang.
BAHAN-BAHAN YANG DAPAT BERUPA RACUN
Dalam tulisan ini bahan racun yang dibahas adalah bahan yang termasuk dalam chemical toxicants, atau bahan kimia umum yang bersifat racun. Bahan kimia umum yang sering menimbulkan keracunan adalah sebagai-berikut :
ü Golongan pestida, yaitu organo klorin, organo fosfat, karbamat, arsenik.
ü Golongan gas, yaitu Nitrogen (N2), Metana (CH4), Karbon Monoksida (CO), Hidrogen Sianida (HCN), Hidrogen Sulfida (H2S), Nikel Karbonil (Ni(CO)4), Sulfur Dioksida (SO2), Klor (Cl2), Nitrogen Oksida (N2O; NO; NO2), Fosgen (COCl2), Arsin (AsH3), Stibin (SbH3).
ü Golongan metalloid/logam, yaitu timbal (Pb), Posfor (P), air raksa (Hg), Arsen (As), Krom (Cr), Kadmium (Cd), nikel (Ni), Platina (Pt), Seng (Zn).
ü Golongan bahan organic, yaitu Akrilamida, Anilin, Benzena, Toluene, Xilena, Vinil Klorida, Karbon Disulfida, Metil Alkohol, Fenol, Stirena, dan masih banyak bahan kimia beracun lain yang dapat meracuni setiap saat, khususnya masyarakat pekerja industri.
Banyak Negara yang tidak mempunyai atau memerlukan peningkatan sistem-sistem nasional untuk mengelola risiko kimia. Sebagian besar Negara masih kekurangan perangkat-perangkat ilmiah untuk mengetahui perihal salah penggunaan dan untuk penilaian dampak dari bahan-bahan kimia terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.banyak Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, perlu untuk mengadakan dan/atau memperkuat kerangka atau elemen-elemen dasar untuk pengelolaan bahan-bahan kimia yang ramah lingkungan.Elemen-elemen dasar untuk pengelolaan bahan-bahan kimia yang ramah lingkungan adalah:
- adanya hukum yang memadai
- pengumpulan dan penyebarluasan informasi
- kapasitas untuk penilaian resiko dan interprestasinya
- tersedianya kebijakan manajemen resiko
- kapasitas untuk implementasi dan pendorong pelaksanaannya
- kapasitas untuk rehabilitasi/ pemulihan tempat-tempat yang terkontaminasi dan orang-orang yang keracunan
- program-program pendidikan yang efektif
- kapasitas tanggap darurat
2.4.3. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Sektor industri di bawah pertumbuhan ekonomi yang pesat memegang peranan yang sangat besar sebagai kontributor limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) bukan saja disebabkan oleh industri tersebut, tetapi juga akibat adanya perdagangan antar negara yang memungkinkan memperdagangkan limbah B3 atau produk dan teknologi yang dapat menghasilkan limbah B3.
Guna menekan jumlah B3 perlu adanya reorientasi sistem berproduksi, dari pendekatan “end of pipe” ke pendekatan produksi bersih (Cleaner production) yaitu pendekatan “from Craddle to grave” pendekatan ini menekan jumlah limbah yang dihasilkan dari mulkai pemrosesan bahan baku hingga barang atau bahan tersebut tidak dapat digunakan lagi.
elDalam upaya pengelolaan limbah B3 yang berwawasan lingkungan, maka interaksi antara pranata hukum dan sosial, kelembagaan, kemampuan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan bahkan advokasi dari LSM akan sangat menentukan keberhasilan dari suatu upaya pengendalian dan pengolahan limbah B3 tersebut.
Guna mencapai hal tersebut di atas, maka dapat dilakukan dengan bidang program yang mencakup:
1. pengembangan dan peningkatan pengelolaan limbah B3 yang berwawasan lingkungan dengan prioritas utama pada minimasi limbah
2. pencegahan lintas batas limbah B3 secara ilegal dan kerjasama dalam pengelolaan lintas batas limbah, dan
3. peningkatan dan penguatan kemampuan kelembagaan dalam pengelolaan limbah B3
2.4.4. Pengertian B3
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
2.4.4.1.Tujuan pengelolaan limbah B3
Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Pengelolaan dan pengolahan limbah B3
Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan, pengolahan dan penimbunan. Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke Bapedalda setempat. Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (www.menlh.go.id/i/art/pdf_1054679307.pdf)
2.4.4.2.Identifikasi limbah B3
Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:
ü Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:
· Limbah B3 dari sumber spesifik;
· Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
· Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
ü Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:
· mudah meledak;
· pengoksidasi;
· sangat mudah sekali menyala;
· sangat mudah menyala;
· mudah menyala;
· amat sangat beracun;
· sangat beracun;
· beracun;
· berbahaya;
· korosif;
· bersifat iritasi;
· berbahayabagi lingkungan;
· karsinogenik;
· teratogenik;
· mutagenik.
ü Uji toksikologi Lethal dose f if ty (LD50) digunakan oleh
2.4. Pengolahan Limbah Radioaktif
Pengolahan limbah radioaktif, terutama diperuntukkan bagi perlindungan maksimum bagi mahluk hidup, lingkungan dan ekosistemnya.
Untuk menjamin keselamatan dan perlkindungan yang maksimum, maka sebaiknya seluruh pihak yang berkepentingan di dalam pemanfaatan radionuklida (nuklir) mengikuti asas ALARA (As Low As Reasonably Achievable). Guna tercapainya pengelolaan limbah radioaktif yang mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan, maka upaya penerapan teknologi harus layak secara teknis, ekonomis, layak bagi perlindungan lingkungan dan keselamatan yang maksimum terhadap potensi bahaya nuklir saat ini dan masa yang akan datang. Selain itu pemanfaatannya juga harus dapat diterima oleh masyarakat.
Guna pencapaian pengelolaan yang benar-benar terjamin, diusulkan dilakukan dengan menjalankan bidang program yang menekankan kepada : pengelolaan limbah radioaktif yang berwawasan lingkungan.
Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk meminimalkan dosis radiasi yang diterima penduduk < st="on">
Tiga unsur dasar dalam pengelolaan limbah radioaktif :
• Pengelolaan bertujuan untuk memudahkan dalam penanganan selanjutnya.
• Penyimpanan sementara dan pembuangan atau penyimpanan akhir/lestari.
• Pengawasan pembuangan dan monitoring lingkungan.
Salah satu sifat yang dimiliki oleh sumber radioaktif adalah memiliki umur paruh. Sifat ini sangat menguntungkan karena limbah radioaktif akan berkurang radioakvitasnya seiring dengan waktu dalam bentuk peluruhan dan pengeluaran panas.
Pada dasarnya kegiatan pengelolaan limbah radioaktif meliputi tahapan :
a. Pengangkutan Limbah
Pengangkutan meliputi kegiatan pemindahan limbah radioaktif dari lokasi pihak penghasil limbah menuju ke lokasi pengelolaan limbah PTLR. Kegiatan pengangkutan harus memenuhi syarat-syarat keamanan dan keselamatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Terutama bila lokasi penghasil limbah diluar kawasan PTLR diperlukan ijin Pengangkutan Limbah dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
Sarana dan prasarana yang dipakai pada kegiatan pengangkutan Limbah antara lain :
o Alat angkut: truck, fork lift, crane, hand crane dan sebagainya
o Transfer Cask / Kanister
o Pallet.
o Alat monitoring
o Tanda bahaya radiasi dan tanda bahaya lainnya
o Sarana keselamatan kerja
o Dan sarana lain yang diperlukan.
b. Praolah (pretreatment)
Praolah adalah kegiatan yang dilakukan sebelum pengolahan agar limbah memenuhi syarat untuk dikelola pada kegiatan pengelolaan berikutnya. Kegiatan ini antara lain meliputi :
o Pengelompokan sesuai dengan jenis dan sifatnya.
o Preparasi dan analisis terhadap sifat kimia, fisika dan kimia fisika serta kandungan radiokimia
o Menyiapkan wadah drum, plastik, lembar identifikasi dan sarana lain yang diperlukan
o Pewadahan dalam drum 60, 100, 200 liter atau tempat yang sesuai
o Pengepakan untuk memudahkan pengangkutan dan pengolahan
o Pengukuran dosis paparan radiasi
o Pemberian label identifikasi dan pengisian lembar formulir isian
o Pengeluaran dari hotcell
o Penempatan dalam kanister sehingga memenuhi kriteria keselamatan pengangkutan
Sarana dan prasarana yang dipakai dalam kegiatan Praolah antara lain :
o Drum 60 liter / 100 liter
o Plastik pelapis bagian dalam drum
o Lembar identifikasi dan lembar isian
o Alat monitor radiasi
o Alat pengepakan
o Kanister
o Sarana keselamatan kerja
3. Pengolahan (treatment)
Pengolahan limbah radioaktif di PTLR menggunakan fasilitas utama Kompaktor, Evaporator, Insenerator dan Unit Immobilisasi (lhat gambar dbawah).
Limbah cair organik dan limbah padat terbakar direduksi volumenya dengan cara insenerasi. PTLR mempunyai satu unit insenerator dengan kapasitas pembakaran limbah padat 50 kg/jam atau 20 liter limbah organik cair / jam beserta peralatan sementasi abu dalam drum 100L. Limbah cair diolah dengan cara evaporasi untuk mereduksi volume limbah. PTLR memiliki satu unit evaporator dengan kapasitas olah 0,75 m3/jam dengan ratio pemekatan 50:1. Konsentrat hasil evaporasi dikungkung dalam shell beton 950L dengan campuran semen. Bila limbah cair bersifat korosif maka limbah diolah secara kimia (chemical treatment) sebelum disementasi. Limbah padat termampatkan proses reduksi volumenya dilakukan dengan cara kompaksi. PTLR mempunyai 1 unit kompaktor dengan kekuatan 600 kN, meja getar dan perangkat sementasi. Limbah padat dalam drum 100L dimasukkan dalam drum 200L saat kompaksi. Dengan kuat tekan 600 kN kompaktor PTLR mampu mereduksi 4-5 drum 100L dalam drum 200L. Setelah pengisian batu koral, hasil kompaksi selanjutnya disementasi dalam drum 200L. Limbah padat tak terbakar dan tak termampatkan pengolahannya dimasukkan secara langsung dengan cara sementasi dalam shell beton 350L/950L. Proses imobilisasi atau proses kondisioning dilakukan dengan menggunakan shell beton 350 liter, 950 liter, drum beton 200 liter dan drum 200 liter dengan bahan matriks campuran semen basah. Limbah padat aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas sedang (LAS) dan limbah aktivitas rendah (LAR) masing-masing diimobilisasi di dalam shell beton 350 liter, 950 liter, drum beton 200 liter dan drum 200 liter. Untuk menunjang kegiatan proses pengolahan ini diperlukan suatu koordinasi kerja yang terpadu diantara tenaga yang terdiri dari proses, penunjang sarana, keselamatan, laboratorium dan administrasi.
c. Penyimpanan Sementara
Penyimpanan dilakukan sebelum dan sesudah limbah diolah. PTLR memiliki 2 fasilitas penyimpanan, yaitu Interim Storage (IS) dan Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT).
Shell beton 950L disimpan di IS
PSLAT memiliki 2 bentuk; kolam dan sumuran. Drum 60/100L disimpan dalam lokasi berbentuk sumuran. Fasilitas ini memiliki 20 buah sumur, dan masing-masing sumur mampu menampung 6 buah drum 60/100L. Total kapasitas bentuk sumuran adalah 120 drum.
PSLAT
Kapasitas penyimpanan limbah P2PLR :
Penyimpanan | Kapasitas |
Interim Storage (IS) | 1500 drum 200L |
PSLAT | 20 Sumur = 7,2 m3 |
Sarana yang diperlukan antara lain :
o Tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas tinggi
o Transfer Cask Magnetik
o Peralatan trasportasi: truck, fork lift, crane, hand crane
o Crane / hand crane
o Sistem informasi managemen limbah
o Alat monitor radiasi
o Peralatan keselamatan kerja
o Dan sarana lain yang diperlukan
Untuk mengetahui kriteria limbah yang memenuhi kriteria keselamatan untuk dikelola lebih lanjut maka dilakukan inspeksi dan pemantauan secara rutin selama penyimpanan.
2.5. Pengelolaan Limbah Padat dan Cair
Limbah Padat dan Cair yang di maksdud pada bab ini meliputi limbah rumah tangga atau limbah domestik dan limbah industri yang tidak beracun dan berbahaya
Pengelolaan Llimbah Padat dan cair dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan mempunyai prinsip bahwa limbah tidak boleh terakumulasi di alam sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien, bahwa pembuangan limbah harus di batasi pada tingkat yang tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran dan sistem tertutup penggunaan materi seperti daur ulang dan pengomposan harus dimaksimasi. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka dapat diidentifikasi empat komponen atau bidang program yang perlu dilaksanakan yaitu:
- Minimasi limbah
minimasi limbah adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi, dengan jalan reduksi pada sumbernya dan atau pemanfaatan limbah
Minimasi limbah dapat dilakukan dengan dua cara (Higgins 1989):
1. Reduksi limbah pada sumbernya (Source Reduction):
• Memperbaiki pelaksanaan house keeping
• Segregasi limbah
• Pemeliharaan peralatan (preventive maintenance)
• Pengelolaan inventaris (inventory management)
• Modifikasi atau substitusi bahan
• Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik
• Modifikasi proses atau alat
2. pemanfaatan limbah (waste utilization):
• penggunaan kembali (reuse)
• daur ulang (recycle)
• pengambilan kembali (recovery)
• pemulihan/pengkondisian kembali (recharge/reconditioning)
2. Maksimasi daur ulang dan pengomposan
Proses pengomposan (composting) adalah proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap buangan organik yang biodegradable. Pengomposan dapat dipercepat dengan mengatur faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga berada dalam kondisi yang optimum untuk proses pengomposan. Secara umum, tujuan pengomposan adalah:
ü Mengubah bahan organic yang biodegradable menjadi bahan yang secara biologi bersifat stabil dan demikian mengurangi volume dan massanya.
ü b. Bila prosesnya pembuatan secara aerob, maka proses ini akan membunuh bakteri pathogen telur serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada temperature si atas temperature normal.
ü Memanfaatkan nutrient dalam buangan secara maksimal seperti nitrogen, phosphor, potassium.
ü Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah.
Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah:
ü Memperkaya bahan makanan untuk tanaman
ü Memperbesar daya ikat tanah berpasir
ü Memperbaiki struktur tanah berlempung
ü Mempertinggi kemampuan menyimpan air
ü Memperbaiki drinase dan porositas tanah
ü Menjaga suhu tanah agar stabil
ü Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara
ü Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan.
Daur ulang (recycle) adalah upaya pemanfaatan limbah melalui pengolahan fisik atau kimiawi untuk menghasilkan kualitas produk yang lebih tinggi (up cycle), sama atau kualitas produk yang lebih rendah (down cycle).
3. Meningkatkan tingkat pelayanan
ü Persampahan
Permasalahan Yang Timbul Dalam Pengelolaan Persampahan
Permasalahan pengelolaan sampah di
1. Masyarakat : orang perorang maupun komunitas masyarakat
2. Pemerintah : Pemerintah dan pemerintah daerah
3. Pelaku Usaha : produsen, penjual, pedagang, jasa
Permasalahan-permasalahan tersebut saling terkait sehingga memerlukan pendekatan komprehensif dan melibatkan semua pelaku utamanya. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut sudah saatnya disusun suatu Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Sampah yang menjadi dasar hukum peraturan-peraturan teknis di bidang pengelolaan sampah serta menjadi dasar tindak pengelolaan sampah yang mengikat masyarakat, baik orang perorang maupun komunitas, pemerintah, dan Pelaku Usaha. (RUU Pengelolaan Sampah).
Kebijakan tentang sampah Kebijakan Nasional Pengelolaan Limbah Padat Dan Cair (AGENDA 21) Kebijakan nasional dalam penanganan dan pengelolaan limbah padat dan cair mengacu pada Agenda 21 sebagai berikut.
Bidang Program A - Minimasi LimbahPeriode 1998 – 2003 Menetapkan minimasi limbah sebagai salah satu tujuan utama pengelolaan limbah Menyusun dan menetapkan target untuk manimasi limbah pada sector industrilkomersil, pengemasan, dan rumah tangga Mengurangi dan/atau memusnahkan limbah yang masih perlu dibuang Meningkatkan kesadaran dan peranserta masyarakat dalam usaha minimasi limbah Periode 2003 – 2020 Melaksanakan dan mencapai target minimasi limbah
Melaksanakan program-program yang dicanangkan untuk merubah perilaku konsumsi masyarakat luas secara fundamental guna mencapai usaha minimasi limbah
Bidang Program B - Maksimasi Daur Ulang dan Pengomposan Limbah yang Ramah Lingkungan Periode 1998 – 2003 Memperkuat komitmen pemerintah, khususnya departemen terkait seperti Departemen PU untuk mengikutsertakan daur ulang dan pengomposan dalam strategi pengelolaan limbah Tercapainya tingkat daur ulang dan pengomposan yang berarti di kota-kota terpilih. Beberapa perkiraan akan tingkat daur lang dan pengomposan yang layak secara teknologi maupun ekonomis memberikan angka masing - masing 15 - 25 % dan 20 - 40 % dari total sampah Periode 2003 – 2020 Tercapainya tingkat daur ulang dan pengomposan yang optimum pada tahun 2020
Bidang Program C - Peningkatan Tingkat Layanan Umum Jangka Panjang Terlayaninya seluruh masyarakat dengan system yang akrab lingkungan Periode 1998 – 2003 Meningkatkan tingkat pelayanan umum sampah menjadi 70 - 80 % untuk kota sedang dan kecil serta 90 - 100 % untuk kota metropolitan dan besar Meningkatkan pelayanan umum sanitasi menjadi 85 - 95 % untuk kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang serta 75 % untuk kota kecil dan pedesaan Periode 2003 – 2020 Mencapai tingkat pelayanan umum kepada seluruh masyarakat, baik untuk sampah, limbah cair, maupun tinja untuk seluruh jenis pemukiman
Bidang Program D - Promosi Pembuangan dan Pengolahan Limbah yang Akrab Lingkungan Periode 1998 – 2003 Untuk limbah industri, pada tahun 2005 semua limbah harus sudah diolah sampai ke tingkat yang memenuhi baku mutu limbah Untuk persampahan, semua sampah harus dibuang dengan cara yang akrab lingkungan, TPA yang ada sudah harus mulai diperbaiki kondisi dan system operasinya. Periode 2003 - 2020 Semua limbah padat, limbah cair, maupun limbah industri harus diolab dan dibuang sedemikian rupa sehingga memenuhi baku mutu limbah dan baku mutu lingkungan, dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dari semua badan penerima, baik air, tanah, maupun udara.
4. Meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang ramah lingkungan
Agar mendapatkan hasil yang efektif, keempat program area ini perlu direncanakan dan dilaksanakan secara terintegrasi dan dengan menggunakan instrumen ekonomi.
2.4.4 Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
(i) Konservasi Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati disebut juga “Biodiversitas”. Keanekaragaman atau keberagaman dari makhluk hidup dapat terjadi karena akibat adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur, penampilan dan sifat-sifat lainnya. Sedangkan keanekaragaman dari makhluk hidup dapat terlihat dengan adanya persamaan ciri antara makhluk hidup. Agenda 21
- Meningkatkan pembentukan sistem kawasan lindung berikut pengelolaan secara efektif
- Melestarikan keanekaragaman hayati pada kawasan argoekosistem dan kawasan non-lindung/produksi
- Pelestarian keanekaragaman hayati secara ex-situ
- Melindungi sistem pengetahuan masyarakat tradisional serta meningkatkan seluruh sistem pengetahuan yang ada tentang konservasi dan keanekaragaman hayati
- Mengembangkan dan mempertahankan sistem pengelolaan keanekaragaman hayati berkelanjutan, termasuk pembagian keuntungan yang adil.
Pemerintah
Di awal tahun 1990an, KMNLH mengembangkan Strategi Nasional Keanekaragaman Hayati yang diikuti oleh kompilasi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati oleh Bappenas di tahun 1993. Kedua dokumen tersebut dimaksudkan untuk digunakan sebagai petunjuk pengelolaan keanekaragaman hayati oleh berbagai sektor di masyarakat. Namun demikian, upaya diseminasi kedua dokumen tersebut masih kurang dilakukan. Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati, misalnya, ditulis dalam Bahasa Inggris dan banyak lembaga pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat belum mengetahui keberadaannya. Suatu proses untuk memperbaharui dan merevisi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati sedang dilakukan melalui Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati
Walaupun banyak menghadapi masalah, perkembangan menjanjikan tengah berlangsung di antara masyarakat sipil dan kelompok-kelompok masyarakat, terutama dalam hal pemberdayaan masyarakat dan hidupnya kembali pengetahuan dan sistem tradisional tentang pengelolaan keanekaragaman hayati. Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), suatu lembaga donor nasional dengan dana dari USAID, telah memfasilitasi banyak proyek konservasi keanekaragaman hayati berbasis masyarakat melalui jaringan yang dibentuknya dengan ornop dan kelompok-kelompok masyarakat. Demikian pula GEF - Small Grants Program juga telah mendukung usaha-usaha masyarakat berskala kecil. Beberapa ornop saat ini aktif terlibat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati baik melalui kegiatan informasi dan kebijakan atau pemberdayaan masyarakat. Jaringan untuk Pengetahuan lokal (the Network for Traditional Knowledge), misalnya, memfasilitasi masyarakat untuk menghidupkan lagi pengetahuan mereka tentang keanekaragaman hayati. Namun masih banyak yang harus dikerjakan dalam rangka tercapainya pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Mengacu pada kondisi keanekaragaman hayati yang saat ini menghadapi ancaman yang cukup serius karena menyusutnya habitat alami dan meningkatnya aktivitas perburuan dan perdagangan liar sejumlah satwa, maka agenda pelestarian keanekaragaman hayati yang perlu dilakukan sebagai berikut:
· Diperlukan kajian dan pemantauan untuk menentukan kembali jenis spesies yang saat ini terancam punah agar perundang-undangan yang ada dapat diperbarui. Faktor-faktor yang mengancam keanekaragaman hayati selama ini semakin banyak sehingga diperkirakan terjadi perubahan status spesies yang selama ini dianggap tidak terancam punah maupun yang sudah ditetapkan sebagai spesies dilindungi.
· Pengelolaan keanekaragaman hayati memerlukan penguatan akan pemahaman, peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, khususnya di daerah-daerah perbatasan, sehingga perlu upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pemerintah perlu mendukung beberapa kepala daerahkabupaten yang berkomitmen menetapkan daerahnya sebagai kabupaten konservasi. Pemerintah provinsi dan pemerintah pusat perlu memantau perkembangannya dengan menggunakan seperangkat kriteria dan indikator, termasuk landasan hukumnya, agar dapat dikembangkan insentif ekonomi di masa yang akan datang.
Satu masalah yang sangat penting adalah kecenderungan global yang berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati. Di tingkat internasional, dengan kemajuan bioteknologi dan peraturan paten yang berkaitan dengan perdagangan (seperti Aspek Perdagangan dari Hak-hak Kepemilikan Intelektual – Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, TRIPS), pengelolaan keanekaragaman hayati tidak lagi hanya merupakan isu lingkungan. Isu politik ekonomi dan pertanyaan tentang kepemilikan, akses, penggunakan dan pembagian keuntungan serta potensi dampak dari bioteknologi baru harus diperhatikan. Pengelolaan keanekaragaman hayati melibatkan tidak hanya materi hayati tapi juga pengetahuan hayati, bioteknologi, kebijakan dan kelembagaan.
Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan dalam perbaikan pelaksanaan agenda 21, pengelolaan keanekaragaman hayati adalah :
§ Pemerintah harus mereformasi kebijakan, memperkuat lembaga-lembaga dan memfasilitasi penggunaan teknologi yang tepat untuk pengelolaan keanekaragaman hayati, dengan mempertimbangkan kecenderungan global dalam pengembangan bioteknologi, komoditas berbasis sumber daya hayati dan peraturan global lainnya.
§ Pemerintah harus mengakui dan memberikan perlindungan untuk pengetahuan tradisional mengenai keanekaragaman hayati serta menciptakan mekanisme untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, terutama yang didasarkan pada pembagian keuntungan yang adil.
§ Memperbaiki kesadaran publik dan juga akses informasi tentang isu-isu keanekaragaman hayati sebagai bagian dari manajemen keanekaragaman hayati.
§ Menyelesaikan proses yang tengah berlangsung untuk mengkompilasi Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati
§ Meratifikasi Protokol Cartagena mengenai Keamanan Hayati.
(ii) Pengembangan Bioteknologi
Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Agenda 21 program pengembangan bioteknologi difokuskan pada pemecahan masalah pertanian, kesehatan, dan lingkungan yang merupakan prioritas di
- Bioteknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan, pakan, dan bahan-bahan terbarukan
- Bioteknologi kedokteran untuk peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup serta perbaikan lingkungan
- Bioteknologi lingkungan
- Pengembangan prasarana bioteknologi
- Pedoman kemananan biologis
(iii) Pengelolaan sumber daya terpadu wilayah pesisir dan pantai
Sumber daya pesisir dan laut adalah cadangan sumber daya alam sebagai modal pembangunan di masa yang akan datang. Namun telah terjadi kerusakan pesisir yang signifikan di beberapa tempat dan ada praktek-praktek eksploitasi yang kurang berwawasan lingkungan sehingga mengancam keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan daya dukung sumber daya pesisir dan laut. Untuk itu perlu dikembangkan agenda yang berkaitan dengan pendataan sumber daya pesisir dan laut dan degradasinya, serta aksesibilitas informasinya. Dengan data dan informasi yang memadai diharapkan akan diketahui seberapa mendesaknya upaya konservasi sebagai pencadangan sumber daya bagi pembangunan di masa depan. Data mengenai alokasi ruang bagi konservasi pesisir merupakan kriteria bagi penyusunan rencana tata ruang. Rencana tata ruang itu
menjadi dasar penentuan agenda pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Selain itu, juga perlu agenda yang bertujuan meningkatkan produktifitas pesisir yang dipengaruhi oleh kondisi ekologinya. Agenda itu antara lain upaya pencegahan dan penanggulangan perusakan serta pemulihan lingkungan, pencegahan pencemaran air laut serta pemulihan kualitasnya. Kondisi pesisir juga dipengaruhi oleh sumber-sumber pencemaran dari daratan, termasuk yang melalui aliran air sungai, maka perlu mengendalikan sumber-sumber pencemaran di daratan. Kemungkinan pencemaran akibat kecelakaaan transportasi laut, khususnya transportasi yang mengangkut bahan berbahaya beracun (B3), memerlukan agenda contingency plan.
Selain itu, sumber daya laut dan pantai di Indonesia juga berada di bawah ancaman serius, berkisar dari penurunan persediaan ikan yang serius akibat penangkapan ikan yang berlebihan hingga tingkat polusi pantai yang parah, hilangnya kawasan-kawasan utama habitat dan ekosistem pantai, dan kerusakan besar-besaran terumbu karang. Di seluruh
Masalah-masalah di atas sebagian disebabkan oleh tidak adanya peraturan yang jelas mengenai rencana tata ruang pantai dan laut dan kemiskinan masyarakat yang tinggal di pantai, yang merupakan penduduk termiskin di
Adapun tidakan rekomendasi yang dapat diusulkan untuk perbaikan pelaksanaan agenda 21 pengelolaan sumber daya terpadu wilayah pesisir dan pantai adalah :
§ Memberlakukan peraturan perundangan untuk konservasi dan perikanan.
§ Mempromosikan rencana tata ruang terinci berdasarkan pertimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologis dengan melibatkan masyarakat lokal, khususnya masyarakat miskin.
§ Mempromosikan pengelolaan laut dan pantai terpadu melalui penguatan kapasitas, dan perbaikan akses terhadap teknologi-teknololgi survei dan pemantauan.
§ Memperkenalkan kembali praktek-praktek perlindungan perikanan tradisional yang dapat diadaptasi.
§ Mengembangkan pembangunan sumber daya laut dan pantai partisipatif yaitu yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, efektif dan dilakukan sesuai peraturan.
§ Mengembangkan strategi pro masyarakat miskin untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan bagi para nelayan.
§ Mendesak masyarakat internasional, organisasi internasional dan lembaga-lembaga khusus untuk mengambil tindakan-tindakan konkrit
2.5. Kendala-kendala utama dalam pelaksanaan agenda 21
Seperti halnya negara-negara lain, terutama negara sedang berkembang, Indonesia menghadapi banyak kendala dalam melaksanakan Agenda 21 dan pembangunan berkelanjutan nasional. Kendala-kendala ini perlu diidentifikasi sehingga dapat diperhatikan dalam perencanaan pembangunan di masa yang akan datang. Bagian berikut ini menjabarkan kendala-kendala nasional dan internasional dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
2.5.1. Kendala Nasional
Kendala utama dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah tidak adanya pemerintahan yang akuntabel/dapat dipertanggunggugatkan, representatif dan demokratis, atau secara keseluruhan disebut sebagai pemerintahan yang baik. Prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan adalah pemerintah yang demokratis dimana terdapat mekanisme pemeriksaan dan pengawasan (checks and balances). Atmosfer politik dimana warga negara dapat dengan bebas terlibat dalam dialog untuk menentukan kebijakan merupakan hal yang sangat penting, tapi tidak ada sebelum tahun 1998. Mengikuti perubahan kepemimpinan politik, terjadi proses demokratisasi, sebagai contoh adalah dicabutnya RUU yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat dan berserikat. Kurangnya konsultasi publik ditambah dengan penekanan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung pembangunan berkelanjutan. Kendala-kendala lain yang dijabarkan di bawah ini masih berkaitan dengan isu pemerintahan diantaranya :
a. Tidak adanya kesadaran dan platform bersama Pada umumnya tidak ada kesadaran baik mengenai Agenda 21 maupun pembangunan berkelanjutan di antara pegawai pemerintah, masyarakat dan pengusaha, bahkan akademisi disebabkan oleh kurangnya usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat umum mengenai pentingnya Agenda 21. Sebagai akibatnya Agenda 21 Nasional, yang memberikan arahan dalam merencanakan pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional, lokal dan sektoral, belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah belum menyusun kebijakan-kebijakan yang terintegrasi, apalagi memfasilitasi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kurangnya kesadaran bersama mengenai apa yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan dan bagaimana cara untuk melaksanakannya.
b. Pendekatan pembangunan yang tersentralisasi dan terfragmentasi. Sebagian besar keputusan penting ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga hanya menyisakan ruang yang sangat sempit bagi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan berdasarkan potensi dan kebutuhan lokal. Meskipun
c. Kurangnya kemauan politik, kapasitas lembaga dan penegakan hokum. Proses pengambilan keputusan dalam struktur pemerintah belum sepenuhnya transparan dan sering tidak melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait. Keadaan diperburuk dengan kurangnya akses untuk mendapatkan informasi.
d. Tidak tersedianya ruang untuk keterlibatan kelompok-kelompok utama. proses pembangunan di
e. Tidak mencukupinya sumber daya finansial, teknologi dan manusia. pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan sudah terbatas karena alokasi anggaran yang tidak tepat dan relatif tingginya tingkat pembayaran hutang. Situasi memburuk sejak terjadinya krisis. Ketergantungan
f. Kendala-kendala teknologi disebabkan oleh tidak adanya perencanaan dan insentif yang layak di tingkat nasional dan tidak adanya transfer teknologi di tingkat internasional. Perkembangan teknologi dalam negeri, terutama untuk pembangunan berkelanjutan, sangat lemah karena alokasi anggaran yang rendah untuk penelitan dan pengembangan di sektor publik dan swasta.
2.5.2 Kendala Internasional.
Kurangnya realisasi komitmen yang sudah dibuat masyarakat internasional terutama negara-negara maju telah, sampai pada tingkat tertentu, menghambat pembangunan berkelanjutan di
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Daftar Pustaka
- Anonim. Dari Krisis Menuju Keberlanjutan, Meniti Jalan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Pengkajian Nasional terhadap Pelaksanaan Agenda 21 Indonesia. www.pdf.egine.com/agenda_21.pdf. [Online] 22 April 2009.
- Anonim. 2009. http://treest.files.wordpress.com/2009/03/biotechnology [Online] 28 April 2009.
- UNDP, Januari 2004. Menuju Agenda 21: Mengkaji Kapasitas Nasional. www.undp.or.id. [Online] 22 April 2009.
- Tejoyuwono Notohadiprawiro, 2006. Memanfaatkan keotonomian laku-atur memperbesar peluang saling tindak bermaslahat perguruan tinggi dengan pemerintah daerah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 6 (2) (2006) p: 132-136 [Online] 26 April 2009
- Susanto, Lingkungan hidup, sumber daya atau sumber petaka ? www.pdf.egine.com/susanto.pdf.[Online] 26 April 2009
Thankyou for sharing Ms. Renna Savitri.
BalasHapus